watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

TKW PEMIKAT

Empat tahun lalu aku masih tinggal dikota B.
Waktu itu aku berumur 26 tahun. Aku tinggal
dirumah sepupu, karena sementara masih
menganggur aku iseng-iseng membantu sepupu
bisnis kecil-kecilan di pasar. 3 bulan aku jalani
dengan biasa saja. Hingga akhirnya secara tak
disengaja aku kenal seorang pelanggan yang
biasa menggunakan jasa angkutan barang pasar
yang kebetulan aku yang mengemudikannya. Bu
Murni namanya. Sambil ngobrol ngalor-ngidul
aku antar dia sampai dirumahnya yang memang
agak jauh dari pasar tempat dia berjualan kain-
kain dan baju.
Sesampai dirumahnya aku bantuin dia
mengangkat barang-barangnya. Mungkin karena
sudah mulai akrab aku enggak langsung pulang.
Toh, memang ini penumpang yang terakhir. Aku
duduk saja di depan rumahnya yang sejuk,
karena kebetulan ada seperti dipan dari bambu
dihalaman di bawah pohon jambu. Dari dalam
aku mendengar suara seperti memerintah kepada
seseorang..
“Pit.. Tuh bawain air yang dikendil ke depan..,”
begitu suara Bu Murni.
Aku tidak mendengar ada jawaban dari yang
diperintah Bu Murni tadi. Yang ada tiba-tiba
seorang gadis umur kira-kira 20 tahunan keluar
dari rumah membawa gelas dan kendil air putih
segar. Wajahnya biasa saja, agak mirip Bu Murni,
tapi kulitnya putih dan semampai pula. Dia
tersenyum..
“Mas, minum dulu.. Air kendil seger lho..” begitu
dia menyapaku.
“I.. Iya.. Makasih..” balasku.
Masih sambil senyum dia balik kanan untuk
masuk kembali ke dalam rumahnya. Aku masih
tertegun sambil memandangnya. Seperti ingin
tembus pandang saja niatku, ‘Pantatnya aduhai,
jalannya serasi, lumayan deh..’ batinku.
Tak seberapa lama Bu Murni keluar. Dia sudah
ganti baju, mungkin yang biasa dia pakai
kesehariannya..
“Dik Wahyu, itu tadi anak saya si Pipit..” kata Bu
Murni.
“Dia tuh lagi ngurus surat-surat katanya mau ke
Malaysia jadi TKW.” lanjutnya. Aku manggut-
manggut..
“O gitu yah.. Ngapain sih kok mau jauh-jauh ke
Malaysia, kan jauh.. Nanti kalau ada apa-apa
gimana..” aku menimpalinya.
Begitu seterusnya aku ngobrol sebentar lalu pamit
undur diri. Belum sampai aku menstater mobil
pickupku, Bu Murni sambil berlari kecil ke arahku..
“Eh dik Wahyu, tunggu dulu katanya Pipit mau
ikut sampai terminal bis. Dia mau ambil surat-
surat dirumah kakaknya. Tungguin sebentar ya..”
Aku tidak jadi menstater dan sambil membuka
pintu mobil aku tersenyum karena inilah saatnya
aku bisa puas mengenal si Pipit. Begitulah
akhirnya aku dan Pipit berkenalan pertama kali.
Aku antar dia mengambil surat-surat TKW-nya.
Di dalam perjalanan kami ngobrol dan sambil
bersendau gurau.
“Pit.., namamu Pipit. Kok nggak ada lesung
pipitnya..” kataku ngeledek. Pipit juga tak kalah
ngeledeknya.
“Mas aku kan sudah punya lesung yang lain..
Masak sih kurang lagi..” balas Pipit..
Di situ aku mulai berani ngomong yang sedikit
nakal, karena sepertinya Pipit tak terlalu kaku dan
lugu layaknya gadis-gadis didesa. Pantas saja dia
berani merantau keluar negeri, pikirku.
Sesampai dirumah kakaknya, ternyata tuan
rumah sedang pergi membantu tetangga yang
sedang hajatan. Hanya ada anaknya yang masih
kecil kira-kira 7 tahunan dirumah. Pipit
menyuruhnya memanggilkan ibunya.
“Eh Ugi, Ibu sudah lama belum perginya? susulin
sana, bilang ada Lik Pipit gitu yah..”
Ugi pergi menyusul ibunya yang tak lain adalah
kakaknya Pipit. Selagi Ugi sedang menyusul
ibunya, aku duduk-duduk di dipan tapi di dalam
rumah. Pipit masuk ke ruangan dalam mungkin
ambil air atau apa, aku diruangan depan.
Kemudian Pipit keluar dengan segelas air putih
ditangannya.
“Mas minum lagi yah.. Kan capek nyetir mobil..”
katanya.
Diberikannya air putih itu, tapi mata Pipit yang
indah itu sambil memandangku genit. Aku terima
saja gelasnya dan meminumnya. Pipit masih saja
memandangku tak berkedip. Akupun akhirnya
nekat memandang dia juga, dan tak terasa
tanganku meraih tangan Pipit, dingin dan sedikit
berkeringat. Tak disangka, malah tangan Pipit
meremas jariku. Aku tak ambil pusing lagi tangan
satunya kuraih, kugenggam. Pipit menatapku.
“Mas.. Kok kita pegang-pegangan sih..” Pipit
setengah berbisik.
Agak sedikit malu aku, tapi kujawab juga, “Abis, ..
Kamu juga sih..”
Setelah itu sambil sama-sama tersenyum aku
nekad menarik kedua tangannya yang lembut itu
hingga tubuhnya menempel di dadaku, dan
akhirnya kami saling berpelukan tidak terlalu erat
tadinya. Tapi terus meng-erat lagi, erat lagi.. Buah
dadanya kini menempel lekat didadaku. Aku
semakin mendapat keberanian untuk mengelus
wajahnya. Aku dekatkan bibirku hingga
menyentuh bibirnya. Merasa tidak ada protes,
langsung kukecup dan mengulum bibirnya.
Benar-benar nikmat. Bibirnya basah-basah madu.
Tanganku mendekap tubuhku sambil
kugoyangkan dengan maksud sambil menggesek
buah dadanya yang mepet erat dengan tubuhku.
Sayup-sayup aku mendengar Pipit seperti
mendesah lirih, mungkin mulai terangsang kali..
Apalagi tanpa basa-basi tonjolan di bawah
perutku sesekali aku sengaja kubenturkan kira-kira
ditengah selangkangannya. Sesekali seperti dia
tahu iramanya, dia memajukan sedikit bagian
bawahnya sehingga tonjolanku membentur tepat
diposisi “mecky”nya.
Sinyal-sinyal nafsu dan birahiku mulai memuncak
ketika tanpa malu lagi Pipit menggelayutkan
tangannya dipundakku memeluk, pantatnya
goyang memutar, menekan sambil mendesah.
Tanganku turun dan meremas pantatnya yang
padat. Akupun ikut goyang melingkar menekan
dengan tonjolan penisku yang menegang tapi
terbatas karena masih memakai celana lumayan
ketat. Ingin rasanya aku gendong tubuh Pipit
untuk kurebahkan ke dipan, tapi urung karena Ugi
yang tadi disuruh Pipit memanggil ibunya sudah
datang kembali.
Buru-buru kami melepas pelukan, merapikan
baju, dan duduk seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Begitu masuk, Ugi yang ternyata sendirian
berkata seperti pembawa pesan.
“Lik Pipit, Ibu masih lama, sibuk sekali lagi masak
buat tamu-tamu. Lik Pipit suruh tunggu aja. Ugi
juga mau ke sana mau main banyak teman.
sudah ya Lik..”
Habis berkata begitu Ugi langsung lari ngeloyor
mungkin langsung buru-buru mau main dengan
teman-temannya. Aku dan Pipit saling menatap,
tak habis pikir kenapa ada kesempatan yang tak
terduga datang beruntun untuk kami, tak ada
rencana, tak ada niat tahu-tahu kami hanya
berdua saja disebuah rumah yang kosong
ditinggal pemiliknya.
“Mas, mending kita tunggu saja yah.. sudah jauh-
jauh balik lagi kan mubazir.. Tapi Mas Wahyu ada
acara nggak nanti berabe dong..” berkata Pipit
memecah keheningan.
Dengan berbunga-bunga aku tersenyum dan
setuju karena memang tidak ada acara lagi aku
dirumah.
“Pit sini deh.. Aku bisikin..” kataku sambil menarik
lengan dengan lembut.
“Eh, kamu cantik juga yah kalau dipandang-
pandang..”
Tanpa ba-Bi-Bu lagi Pipit malah memelukku,
mencium, mengulum bibirku bahkan dengan
semangatnya yang sensual aku dibuat terperanjat
seketika. Akupun membalasnya dengan buas.
Sekarang tidak berlama-lama lagi sambil berdiri.
Aku mendorong mengarahkannya ke dipan
untuk kemudian merebahkannya dengan masih
berpelukan. Aku menindihnya, dan masih
menciumi, menjilati lehernya, sampai ke telinga
sebelah dalam yang ternyata putih mulus dan
beraroma sejuk. Tangannya meraba tonjolan
dicelanaku dan terus meremasnya seiring
desahan birahinya. Merasa ada perimbangan, aku
tak canggung-canggung lagi aku buka saja
kancing bajunya. Tak sabar aku ingin menikmati
buah dada keras kenyal berukuran 34 putih
mulus dibalik bra-nya.
Sekali sentil tali bra terlepas, kini tepat di depan
mataku dua tonjolan seukuran kepalan tangan
aktor Arnold Swchargeneger, putih keras dengan
puting merah mencuat kurang lebih 1 cm. Puas
kupandang, dilanjutkan menyentuh putingnya
dengan lubang hidungku, kuputar-putar sebelum
akhirnya kujilati mengitari diameternya
kumainkan lidahku, kuhisap, sedikit menggigit,
jilat lagi, bergantian kanan dan kiri. Pipit
membusung menggeliat sambil menghela nafas
birahi. Matanya merem melek lidahnya menjulur
membasahi bibirnya sendiri, mendesah lagi..
Sambil lebih keras meremas penisku yang sudah
mulai terbuka resluiting celanaku karena usaha
Pipit.
Tanganku mulai merayap ke sana kemari dan
baru berhenti saat telah kubuka celana panjang
Pipit pelan tapi pasti, hingga berbugil ria aku
dengannya. Kuhajar semua lekuk tubuhnya
dengan jilatanku yang merata dari ujung telinga
sampai jari-jari kakinya. Nafas Pipit mulai tak
beraturan ketika jilatanku kualihkan dibibir
vaginanya. Betapa indah, betapa merah, betapa
nikmatnya. Clitoris Pipit yang sebesar kacang itu
kuhajar dengan kilatan kilatan lidahku, kuhisap,
kuplintir-plintir dengan segala keberingasanku.
Bagiku Mecky dan klitoris Pipit mungkin yang
terindah dan terlezaat se-Asia tenggara.
Kali ini Pipit sudah seperti terbang menggelinjang,
pantatnya mengeras bergoyang searah jarum
jam padahal mukaku masih membenam
diselangkangannya. Tak lama kemudian kedua
paha Pipit mengempit kepalaku membiarkan
mulutku tetap membenam di meckynya,
menegang, melenguhkan suara nafasnya dan…
“Aauh.. Ahh.. Ahh.. Mas.. Pipit.. Mas.. Pipit..
Keluar.. Mas..” mendengar lenguhan itu semakin
kupagut-pagut, kusedot-sedot meckynya, dan
banjirlah si-rongga sempit Pipit itu. Iri sekali
rasanya kalau aku tak sempat keluar orgasme,
kuangkat mukaku, kupegang penisku, kuhujam
ke vaginanya. Ternyata tak terlalu susah karena
memang Pipit tidak perawan lagi. Aku tak perduli
siapa yang mendahului aku, itu bukan satu hal
penting. Yang penting saat ini aku yang sedang
berhak penuh mereguk kenikmatan bersamanya.
Lagipula aku memang orang yang tidak terlalu
fanatik norma kesucian, bagiku lebih nikmat
dengan tidak memikirkan hal-hal njelimet seperti
itu.
Kembali ke “pertempuranku”, setengah dari
penisku sudah masuk keliang vagina sempitnya,
kutarik maju mundur pelan, pelan, cepet, pelan
lagi, tanganku sambil meremas buah dada Pipit.
Rupanya Pipit mengisyaratkan untuk lebih cepat
memacu kocokan penis saktiku, akupun tanggap
dan memenuhi keinginannya. Benar saja dengan
“Ahh.. Uhh”-nya Pipit mempercepat proses
penggoyangan aku kegelian. Geli enak tentunya.
Semakin keras, semakin cepat, semakin dalam
penisku menghujam.
Kira-kira 10 menit berlalu, aku tak tahan lagi
setelah bertubi-tubi menusuk, menukik ke dalam
sanggamanya disertai empotan dinding vagina
bidadari calon TKW itu, aku setengah teriak
berbarengan desahan Pipit yang semakin
memacu, dan akhirnya detik-detik penyampaian
puncak orgasme kami berdua datang. Aku dan
Pipit menggelinjang, menegang, daan.. Aku
orgasme menyemprotkan benda cair kental di
dalam mecky Pipit. Sebaliknya Pipit juga
demikian. Mengerang panjang sambil tangannya
menjambak rambutku.. Tubuhku serasa runtuh
rata dengan tanah setelah terbang ke angkasa
kenikmatan. Kami berpelukan, mulutku berbisik
dekat telinga Pipit.
“Kamu gila Pit.. Bikin aku kelojotan.. Nikmat
sekali.. Kamu puas Pit?”
Pipit hanya mengangguk, “Mas Wahyu.., aku
seperti di luar angkasa lho Mas.. Luar biasa benar
kamu Mas..” bisiknya..
Sadar kami berada dirumah orang, kami segera
mengenakan kembali pakaian kami,
merapihkannya dan bersikap menenangkan
walaupun keringat kami masih bercucuran. Aku
meraih gelas dan meminumnya.
Kami menghabiskan waktu menunggu kakaknya
Pipit datang dengan ngobrol dan bercanda.
Sempat Pipit bercerita bahwa keperawanannya
telah hilang setahun lalu oleh tetangganya sendiri
yang sekarang sudah meninggal karena demam
berdarah. Tapi tidak ada kenikmatan saat itu
karena berupa perkosaan yang entah kenapa Pipit
memilih untuk memendamnya saja.
Begitulah akhirnya kami sering bertemu dan
menikmati hari-hari indah menjelang
keberangkatan Pipit ke Malaysia. Kadang
dirumahnya, saat Bu Murni kepasar, ataupun di
kamarku karena memang bebas 24 jam tanpa
pantauan dari sepupuku sekalipun.
Tak lama setelah keberangkatan Pipit aku pindah
ke Jakarta. Khabar terakhir tentang Pipit aku
dengar setahun yang lalu, bahwa Pipit sudah
pulang kampung, bukan sendiri tapi dengan
seorang anak kecil yang ditengarai sebagai hasil
hubungan gelap dengan majikannya semasa
bekerja di negeri Jiran itu. Sedang tentangku
sendiri masih berpetualang dan terus berharap
ada “Pipit-Pipit” lain yang nyasar ke pelukanku.
Aku masih berjuang untuk hal itu hingga detik ini.
Kasihan sekali gue..


Adult | GO HOME | Exit
1/733
U-ON

inc Powered by Xtgem.com